Jadi Apa Itu Cinta? Tentang Mencari Cinta Spiritual (Refleksi Pertemuan Terakhir di kelas Filsafat Cinta) [1]
Oleh: Raja Cahaya
Akhirnya
kita berlabuh di cinta spiritual, sebagai ujung pencarian kita sekaligus
sebagai tujuan akhir dari ziarah pengembaraan kita, di gurun pasir
keremang-remangan akan makna cinta. Dengan titik ini kita pun wajib untuk
menanggalkan satu-persatu tiap hiasan-hiasan yang berkaitan dengan ‘keakuan’.
Kehadiran ego itu sebenarnya sedikit mengancam eksistensi cinta spiritual. Sehingga
kita harus pasrah di hadapan cinta spiritual yang agung itu. Keagungan cinta
itu dicirikan oleh sisi misterius dari cinta. Namun tentang mengapa kita harus
meleburkan ego terlebih dahulu, saya perlu menjelaskan beberapa hal.
”Semakin
cinta dijelaskan, itu bukanlah cinta” kurang lebih itulah ungakapan Bang Al di
pertemuan terakhir, ungkapan itu cukup senada dengan syair Rumi yang terkenal
itu. Dalam pertimbangan lain, kita bisa mengatakan dengan nada yang sama, bahwa
semakin kita menjerat cinta dengan jaring-jaring kuriositas kita tentangnya, ia
semakin licin, ia semakin menggeliat tak ingin ditangkap. Makna dan arti cinta
spiritual, atau cinta sejati itu, semakin menjauh dari ujung lidah kita, jauh
dari kerangkeng rasionalitas dan segala macam alat kita untuk mengerti padanya.
Namun,
bukan berarti cinta spiritual itu tak berarti sama sekali. Karena begini, ada
beberapa filsuf dan juga saintis yang mencoba menerjemahkan cinta dengan posisi
atau perspektif tertentu, misalnya dalam hal ini mereka mencoba menjaring cinta
dengan posisi materialis. Mereka menjabarkan bahwa cinta hanyalah efek
biokimia, atau hanya rangsangan-rangsangan otak saja.
Dengan
penjelasan itu hilanglah kemisteriusan cinta, makna sejati cinta. Apalagi dengan
penjelasan materialis itu… ah
akhirnya gairah kita hilang tertiup angin. Barangkali bisa kita sebut bahwa
cinta tak bisa diafirmasi via positiva,
tapi sebaliknya ia mesti diafirmasi via negativa.
Maksudnya, kita tak bisa mengakses cinta dengan penjelasan A, B, C, dll, tapi
kita mesti menjabarkannya dengan cara penjelasan, bahwa cinta itu –A, -B, -C,
dll. Misal: cinta itu bukan ini, bukan itu, dan seterusnya. Dengan penjelasan negatif
itu sebenarnya kita mencoba mengakses cinta, bukan malah menjauhinya. Usaha
perumusan secara negativa itu adalah
upaya untuk memurnikan unsur-unsur banal dari cinta. Karena, kita pun mesti
mempertimbangkan, jangan-jangan cinta yang selama ini kita definisikan itu
sudah melibatkan horizon materialitas kita, yang secara tidak disadari telah
mengakar dalam batin kita, sehingga bisa jadi, segala penjelasan kita tentang
cinta telah tersusupi oleh unsur-unsur rendah itu (red. materi).
Penyibakan
fakta itu menjelaskan, sebagaimana sempat kita bahas di awal-awal pertemuan,
bahwa yang namanya pengalaman itu sangat berpengaruh pada posisi kita dalam
berhadapan dengan cinta.
Sekarang,
mari kita jawab persoalan kita di atas, mengapa kita mesti meluruhkan ego kita
dalam mencari cinta spiritual? Jawabannya jelas, karena unsur egoistis itu
kerapkali malah mengaburkan makna cinta. Jawaban ini sebenarnya sudah
terkandung ketika kita mencoba menjelaskan pengalaman subjektif yang seringkali
menginterupsi proses pemaknaan. Sedang kita mesti insaf, bahkan curiga, bahwa pengalaman
subjektif itu sudah tercemar unsur material. Usaha penanggalan ego berarti
usaha pemurnian.
Lebih
lanjut, kita mesti bertanya, ketika ego kita dicoba dileburkan, lantas apa yang
terjadi? Kita akhirnya mesti menunggu Tuhan mengiyakan kita. Jadi, cinta
spiritual hanya mungkin terjadi jika Tuhan sebagai Cinta itu sendiri
mengafirmasi kita. Jadi jalan penegasannya bukan dari kita, tapi dari Tuhan,
karena Tuhan itu suci dan bebas dari unsur-unsur rendah.
Tapi
kita harus bertanya lagi, bagaimana kita diafirmasi oleh Tuhan? Apakah dengan riyadlah uzlah? Pengasingan diri? Ya seperti
mengasingkan ke ujung dunia, ke sudut-sudut Greendland misalnya, untuk
merenungi kehidupan ini, ditemani kemerduan musik-musik alami? Mendengarkan
burung bernyanyi, mendengarkan angin, menyerap cahaya matahari dengan pasrah,
menahan dahaga dan lapar, dan melakukan praktik-praktik asketik lainnya? “Itu mah cuma syahwat spiritual!” Bang Al
menjawab. Uzlah macam itu patut
dicurigai sebagai jalan mencari kebenaran cinta spiritual.
Jawabannya
bukan dengan cara mengasingkan diri, tapi lebih dari itu, yakni meleburkan diri
bersama orang lain. Sebagai manusia, kita ada bersama orang lain. Kita tidak
terisolasi dengan orang lain. Kita sebenarnya berelasi dengan orang lain. Kita
bukanlah entitas yang solipsistik, tapi intersubjektif.
Keterlibatan
dengan, dan bersama, orang lain akhirnya menjadi penting. Dan menariknya,
itulah jalan untuk mencapai afirmasi dari Tuhan. Ada cerita dari Bang Al
begini, konon ada seorang sufi yang namanya tak tertulis di absensi malaikat,
dan absen itu adalah absen orang-orang yang diridhoi oleh Tuhan. Ia pun kaget,
mengapa ia tidak tercantum di dalamnya. Akhirnya apa yang ia lakukan? Ia pun
memutuskan untuk mencintai orang lain. Setelah melakukan hal itu, si malaikat
pun kembali, dan memperlihatkan absensi itu, dan tercantumlah namanya.
Dari
cerita itu akhirnya kita tahu, bahwa cara agar Tuhan mengiyakan eksistensi
kita, kita wajib mencintai orang lain. Jadi percuma jika ada orang yang
tercebur ke dalam solipsisme ibadah! Bahkan jika ibadah kita—yang tentu saja
diartikan sebagai wujud kecintaan kita kepada Tuhan—tak memberi efek apa-apa
kepada orang lain, maka ibadah kita patut dipertanyakan. Sederhananya cintailah
manusia, maka Tuhan akan mencintai kita, dan itulah cinta spiritual.
Dengan
mencintai Tuhan, dengan menemukan cinta spiritual, sebenarnya kita sedang
mengafirmasi hidup. Orang yang telah meluruhkan egonya, akan bisa santai dengan
kenyataan hidup. Ego berbahaya ketika berhadapan dengan hidup, dengan
keinginan-keinginan hasratiahnya, ego mencoba menundukan realitas sepenuhnya di
hadapannya, seolah-oleh ego itu dapat menginjak kepala alam, dan memerintah
seenaknya; yang pada dasarnya itu hanyalah ilusi, atau bahkan delusi ego
semata. Realitas tak dapat ditundukan oleh ego, ia memiliki independsinya
sendiri, sedang kita dependen terhadapnya.
Cinta
akan Tuhan, karena kita mencoba ‘menanggalkan’ ego, kita mampu mencintai
kehidupan. Ketika kita di hadapkan pada realitas yang kacau ini, diberi
hantaman sana-sini, kita bisa tetap bertahan dengan kuda-kuda spiritual kita. Itulah
uzlah. Uzlah yang bukannya mengasingkan diri, tapi justru ikut hidup di
dalam hamparan wajah orang lain, di jajaran gelimang tatapan-tatapan orang
lain. Orang lain bukanlah Neraka! Kepongahan Jean-Paul Sartre telah salah! Orang
lain adalah jalan kita menuju kesempurnaan Cinta Spiritual.
Jadi
sebagaimana judul lagu Girl Band Twice, What
is love?
[1] Review
Materi Kelas Filsafat Cinta: Sebuah Usaha
Meluluhlantahkan Banalisasi Makna Cinta, yang diselenggarakan oleh LAPAR
Institute 22, 25, 29 Oktober 2018
Comments
Post a Comment