Review Pertemuan Pertama: Cinta yang Menaik dan Cinta yang Mandeg[1]
Oleh: Raja Cahaya
Ada
suatu hal yang paling menarik di dalam diri manusia, salah satunya adalah
aktifitasnya dalam merenungi kehidupan. Salah satu akses manusia untuk bercumbu
dengan realitas ialah aktifitas berpikirnya. Dengan berpikir, ia mencoba
menyibak segala tirai yang menyelubungi realitas. Pikiran itu bak tangan
seseorang yang menggeser tirai di jendela. Namun, pertanyaan yang muncul ialah,
apakah pikiran itu benar-benar mampu menembus tirai realitas? Jangan-jangan
pikiran itu bukannya membuka tirai, tapi malah sebaliknya, malah menutup
realitas, malah menambah tirai, sehingga kita tak pernah bisa menyentuh inti
realitas.
Sebenarnya,
ada suatu hal yang melandasi aktifitas berpikir kita, hal tersebut adalah
aktifitas penafsiran. Meskipun memang betul, aktifitas penafsiran itu
beriringan dengan aktifitas berpikir, hanya saja persoalannya tak sesederhana
itu. Terdapat kompleksitas tersendiri di dalamnya. Rupanya—jika kita mencoba menghadirkan
perspektif hermeneutika—aktifitas penafsiran justru menghadirkan wawasan kepada
kita, bahwa kita akan kesulitan menemukan suatu hal ‘yang sebenarnya’! Dan
juga, kita disadarkan pada fakta bahwa aktifitas berpikir pun dilandasi oleh
penafsiran.
Problemnya
adalah, aktifitas penafsiran itu selalu beriringan dengan pengalaman kita.
Pengalaman di sini merupakan, meminjam bahasa Edmund Husserl, lebenswelt atau dunia-kehidupan.
Dunia-kehidupan ini ialah horizon kehidupan kita, ia semacam batas ruang tertentu
dalam hidup kita. Di dalamnya terdapat batas kultural, historis, norma dan lain
sebagainya. Dan dimensi-dimensi tersebut mengondisikan eksitensi kita.
Beradasarkan
fenomena itu, berarti kita mau tidak mau mesti berangkat dari pengalaman kita
dalam penafsiran, baik disadari maupun tidak disadari. Ia merupakan semacam
titik berangkat. Dari titik itulah kita memulai aktifitas penafsiran terhadap
dunia. Di sisi lain, kita bisa menyebut bahwa titik awal itu, dunia-kehidupan
itu, merupakan pra-sangka kita. Singkat kata, proses penafsiran itu
dikonstitusikan oleh dunia-kehidupan atau pra-sangka. Lalu pertanyaanya adalah,
apakah kita mungkin menemukan kemurnian realitas jika kita sebenarnya
terpenjara oleh kerangka pra-sangka itu? Tentu saja tidak. Kemurnian itu
sendiri jadi tertunda. Wawasan kita pada suatu hal, dengan demikian, selalu
terkondisikan oleh pengalaman, oleh pra-sangka, oleh dunia-kehidupan kita.
Begitu juga dengan fenomena cinta.
Pengalaman
kita akan cinta, sebenarnya dilandasi oleh aktifitas penafsiran kita
terhadapnya, sehingga lahir apa yang disebut dengan makna cinta. Makna cinta
itu bersesuaian dengan pengalaman kita selama bersentuhan dengannya. Sehingga,
bisa dibilang, makna kita akan cinta senantiasa mengalami perubahan sesuai
dengan pengalaman hidup. Kita mengalami masa kecil, remaja, dewasa.
Dalam—kurang lebih—ketiga tahap itu pengalaman kita akan cinta itu berubah.
Setiap tahap sejarah hidup kita, dilapisi oleh ‘tahap’ pengalaman, semakin
hari, pengalaman itu bergeser sedikit-demi sedikit, berubah, berkembang terus
menerus. Fenomena itu begitu alamiah, sehingga kita acap kali tidak sadar akan
perubahan tersebut, tapi begitulah adanya.
Lalu
yang perlu menjadi catatan adalah, ada orang yang justru ‘tidak’ betul-betul
mengubah pemaknaannya terhadap cinta. Dalam arti ini, perubahan memang terjadi,
namun perubahan itu tidak disadari, sekaligus barangkali, ditolak, sehingga
orang tersebut mengalami kemandegan.
Makna
cinta kita sesungguhnya berangkat dari cinta yang bersifat material atau fisikal.
Saat bayi, hingga remaja misalnya, kita selalu terpaut oleh horizon fisikal
ketika berhadapan dengan orang lain. Ambil saja contoh dari cinta seorang
remaja, yang memulai cintanya dari landasan kenikmatan memandang wajah cantik
atau tubuh yang molek. Dasar cintanya berasal dari sana, ia memaknainya dari
sana, dan berakhir di dalam kubangan materialitas itu.
Sebetulnya,
pengalaman atau makna cinta itu seharusnya menaik, dari cinta yang bersifat
material semata, menuju cinta yang bersifat imaterial. Kita mendapati fenomena
macam ini, misalnya, dalam cinta orang yang sudah lama mengalami pernikahan
yang lama. Tak ada lagi makna cinta yang dilandasi oleh wujud fisik, karena
kecantikan dan kegantengan sudah memudar, tubuh yang dulunya molek mulai
kendur, sehingga tak ada lagi horizon fisik yang tersisa. Si orang yang
mengalami pengalaman cinta tersebut lalu meninggalkan horizon itu, dan beralih
kepada makna cinta lain. Misalnya, dia mulai bergumul dengan rasa sayang,
empati yang mendalam, yang sebenarnya jauh dari wujud fisikal. Yang hadir dalam
relasi percintaan itu akhirnya adalah relasi makna cinta spiritual.
Namun
pertanyaan yang patut diajukan adalah, mengapa terdapat orang yang terjebak
dalam cinta yang bersifat material belaka? Memang, adalah suatu hal yang
niscaya bahwa seseorang mesti mengalami cinta dimulai dari dimensi materialitas
belaka, tapi di sisi lain, secara faktual—sekali lagi—makna cinta itu menaik.
Bukti dari fenomena tersebut ialah, bahwa hasrat kita selalu menuntut hal yang
lebih terus menerus, mengapa demikian? Karena batas material itu, tak bisa
memenuhi hasrat kita dalam mencintai. Memang hakikat dari wujud fisik dan
material itulah yang menyebabkan kita mengalami rasa bosan.
Dalam
posisi itu, seharusnya, seseorang sadar akan fakta tersebut, sehingga jalan
satu-satunya yang mesti ditempuh adalah menaikan tingkat kesadaran kita. Namun,
faktanya adalah ada orang yang tidak menyadari hal tersebut. Si orang bosan ini
tidak menyadari keapakkan dari dimensi material, sehingga yang terjadi adalah
pelarian. Karena tak terpuaskan dengan ‘objek’ cinta tertentu, ia malah mencari
objek cinta lain, yang masih di dalam tataran material. Seolah-olah yang salah
adalah objek yang dicintainya, objek yang ia pikir seharusnya memenuhi hasrat
pemenuhan tersebut. Padahal, seharusnya ia mengganti kesadaran itu ke kesadaran
yang lebih tinggi, yakni cinta imaterial atau spiritual tadi.
Masyarakat
modern, banyak yang terjebak dalam kubangan cinta banal itu. Mereka seolah-olah
kesulitas menggeser kesadarannya ke tingkat yang lebih tinggi. Implikasinya
adalah, cinta berakhir di dalam horizon terendah eksistensi manusia (materi).
Kemudian arti cinta pun menjadi—meminjam bahasa Heidegger—berkarat. Kalimat:
aku cinta kamu, akhirnya mesti sepadan dengan kalimat, aku cinta memancing, aku
cinta memasak, aku cinta anjing peliharaan saya, dan seterusnya. Cinta yang
khas pun akhirnya lenyap, dipaksa dikerangkeng dalam batas material itu.
Sesuai
dengan mekanisme hermeneutis yang sempat di jabarkan di beberapa paragraf sebeluumnya,
akhirnya pengalaman kita, pra-sangka kita, juga lebenswelt kita pun tak pernah bergeser, ia pun ikut terjebak dalam
jeruji materialitas itu. Sisi misterius dari cinta pun sirna, bagaikan pasir
yang tertiup angin, pergi entah kemana. Terseret arus kerendahan makna cinta,
terhantam oleh hantaman-hantaman banalitas yang kian hari terus-menerus
digaungkan. Cinta pun menjadi lesu, impoten, tak bergairah.
Pertanyaannya
yang harus kita ajukan di sini adalah, masihkah kita mau terserap oleh kubangan
banalitas cinta itu?
Comments
Post a Comment