Setelah Membaca Lukisan Dorian Gray
Oleh: Raja Cahaya
Kemarin saya baru menyelesaikan novel Lukisan Dorian Gray karya Oscar Wilde. Jujur, novel itu begitu menawan, apalagi bagi para penggemar cerita tragis seperti saya. Saking menawannya novel itu, saya jadi ingin menuliskan ulasannya di sini. Ya, setelah sekian lama tidak menulis apapun di facebook, akhirnya saya jadi terdorong menulis karena novel itu. Jadi inilah:
•
Wilde bercerita tentang seorang pria muda bernama Dorian Gray. Ia digambarkan memiliki paras yang sangat rupawan. Namun, ia mulanya tak begitu menyadari ketampanannya itu, sampai suatu ketika ia dilukis oleh seorang sahabatnya yang bernama Basil Hallward. Ketika ia melihat potret lukisan dirinya, Dorian pun terpesona oleh wajahnya sendiri. Lalu ditambah oleh pendapat-pendapat dari Lord Henry--sang sahabatnya yang lain--yang memuji dirinya sekaligus bilang bahwa ketampanan fisik merupakan anugrah yang tak boleh disia-siakan, maka makin gila lah Dorian atas ketampanan dirinya. Ia pun berdoa agar ketampanannya tak memudar, dan ia ingin agar lukisan dirinya sajalah yang menua. Ternyata harapannya terkabul, ia tak pernah tua. Lukisannyalah yang menua. Kerutan wajah tak pernah mampir di wajahnya. Apalagi noda-noda ketuaan.
Biasanya, raut wajah yang tua, tak hanya disebabkan oleh usia saja, tapi oleh perilaku manusia yang buruk. Jadi, wajah seseorang akan lebih cepat menua, jika melakukan tindakan amoral. Dorian banyak melakukan kesalahan, ia pun pernah berlaku keji terhadap seseorang yang begitu mencintainya, namun wajahnya tak berubah sama sekali. Kerutan akibat efek dari amoralitas tak berdampak apa-apa pada wajahnya. Yang jadi korban adalah lukisannya sendiri.
Mulanya Dorian tak sadar, bahwa yang menjadi tua adalah lukisan dirinya. Sampai akhirnya ia tahu, bahwa yang menjadi korban ketuaan adalah lukisannya sendiri. Ketika itu ia menyempatkan diri untuk melihat lukisan dirinya yang ia simpan. Dan ia pun kaget, atas apa yang terjadi dengan lukisan itu. Mulanya ia tak percaya, tapi akhirnya ia terpaksa hsrus sadar akan fakta itu: fakta bahwa lukisan itu menjadi tua.
Tapi apa yang patut dibanggakan dari wajah yang tampan? Tak ada kelebihan yang Dorian dapat. Hanya ketampanan, itu saja. Ketampanan pun sama sekali tak berpengaruh pada moralnya. Wajahnya seolah hanyalah topeng dari kebusukan yang ia lakukan.
Dorian frustasi atas kehidupannya, terkhusus kepada lukisan itu. Setiap hari ia melihat lukisan itu semakin jelek, seiring atas perbuatan yang pernah ia lakukan. Ia pun sangat malu dan stress karena lukisan itu, sehingga ia tak ingin ada orang yang melihat lukisan itu. Ia pun menyembunyikan lukisan tersebut, namun tekanan batin yang ia alami tak hilang. Lukisan itu menjadi rekaman yang jelas dan nyata atas apa yang ia lakukan, dan semakin tertekanlah ia.
Singkat cerita ia pun merobek lukisan itu, namun yang terjadi bukan lukisan itulah yang musnah. Tapi dirinyalah yang mati. Lukisan yang buruk rupa itu pun menjadi muda kembali, kembali seperi semula sebagaimana ia dilukis pertama kali.
Saya sempat membayangkan, apa jadinya jika kebusukan yang kita lakukan itu, terpampang nyata di hadapan kita? Baiklah, saya memang hanya menyoroti hal itu dari novel Wilde, karena bagiku itulah pesan moral paling penting yang--bagi saya--ingin Wilde sampaikan. Ya bayangkan saja, seolah-olah malaikat pencatat segala kelakuan kita, tiba-tiba suatu saat membeberkannya di depan wajah kita. Apa yang akan kita lakukan? Mungkinkah kita akan terkaget-kaget dan malu sebagaimana yang dialami oleh Dorian? Sepertinya memang itulah yang akan kita lakukan. Barangkali, kita akan gila-gilaan menyembunyikan rekaman perilaku kita, bahkan sebisa mungkin membakarnya, agar tak terendus orang lain. Mungkin seharusnya kita harus bersyukur, karena tak ada rekaman-nyata, atau potret lukisan diri yang menampilkan keburukan kita sendiri di dunia ini. Bayangkan jika ada, seburuk apa wajah kita di potret lukisan itu?
Comments
Post a Comment