Setelah Membaca Sisi Manusiawi Iqbal

Oleh: Raja Cahaya

Siapa yang tak tahu Muhammad Iqbal? Banyak orang saya kira tahu akan dirinya. Di tengah banyaknya pikiran yang ia telurka, ada satu pemikiran Iqbal yang sangat menggugah saya, yakni konsepnya tentang ego. Konsep ego ini ia pertentangkan dengan panteisme yang dianut oleh beberapa pemikir Islam, terkhusus yang dianut oleh beberapa sufi dunia tasawuf. Jika panteisme mereduksi ego-pribadi kepada Ego Tuhan, Iqbal justru menegaskan ego pribadi itu sendiri. Di hadapan Tuhan, kita bukannya harus menundukan ego atau kedirian kita, justru sebaliknya ego kita harus ditegaskan. Iqbal tentu sangat beralasan ketika menyodorkan konsep ini. Baginya, alasan mengapa umat Islam terpuruk--terkhusus pada zaman ketika Iqbal hidup, karena umat Islam kehilangan ego-pribadi. Ego itu tentu berkaitan dengan dorongan mencipta, kreasi, dan inovasi. Dan daya-daya itu merupakan usaha manusia untuk meniru Tuhan.
Konsep mengenai diri ini, banyak terpapar di berbagai buku yang ia tulis, misalnya di dalam Rekonstruksi Pemikiran Islam, apalagi di dalam puisi dan prosanya. Saya pernah membaca Pesan Dari Timur-nya Iqbal, dan penegasan-penegasan tentang ego banyak dijabarkan di dalamnya.
Pemikiran Iqbal tentu tak hanya dibatasi di wilayah filosofis saja, pikiran-pikirannya juga merambah ke dalam ranah lain, misalnya politik. Mau tidak mau, mesti diakui bahwa Pakistan lahir dari rahim Iqbal, meskipun negara Muslim India itu hadir setelah ia wafat. Tapi benih-benih negara itu telah hadir dalam pikiran Iqbal. Dan tentu saja, ia jugalah yang telah menginspirasi para inisiator pendiri negara Pakistan itu.
Iqbal pun terkenal dengan kecamannya kepada tasawuf. Ya dia sangat membenci tasawuf, jika tasawuf hanya dipahami sebagai sebentuk usaha menghilangkan ego; yang tentu saja berpengaruh pada kekuatan dan gairah pembangunan dalam Islam. Ia membenci asketisme yang memabukkan para pemeluknya dalam spiritualitas, dan melupakan alam material. Padahal, bagi Iqbal, dunia merupakan ranah manusia untuk membangun egonya yang dinamis itu. Perlu diingat juga, bahwa ia sama sekali tak menolak tasawuf sepenuhnya, ia hanya menolak beberapa bentuk tasawuf yang melemahkan manusia.
Namun, terlepas dari itu semua, bagaimana sosok Iqbal itu sendiri sebagai pribadi? Saya berjumpa Iqbal sebagai manusia biasa, di dalam buku Sisi Manusiawi Iqbal. Buku itu, tak menggambarkan Iqbal yang tanggung dan garang, namun di dalamnya Iqbal disuguhkan sebagai sosok manusia biasa yang memiliki kehidupan-kehidupan laiknya manusia awam. Iqbal memang pemikir hebat, tapi kita tak bisa juga mengisolasi Iqbal hanya sebagai sosok pemikir. Iqbal adalah sosok kawan, sahabat, dan ayah pada umumnya. Ia digambarkan sebagai sosok humoris di depan kawan-kawannya, dan juga sosok yang mudah menangis ketika mendengar lantunan syair-syair Indah, apalagi ketika mendengar kawan-kawannya yang melafalkan ayat Al-Qur'an dengan begitu merdu.
Kebiasaan yang paling saya sukai dari Iqbal adalah ia selalu membuka kediamannya untuk segala tamu, baik dari kalangan intelektual, politisi atau rakyat biasa. Dan Iqbal tak mengkhususkan diri hanya menerima tamu dari tamu-tamu undangan saja, karena kerap kali ada juga tamu tak diundang yang sering berkunjung ke rumahnya. Iqbal tak keberatan dengan kunjungan mereka, ia tetap menyambut dengan hangat. Iqbal pun selalu melayani segala jenis obrolan, dan bisa menyesuaikan diri dengan segala jenis tema obrolan, baik itu obrolan filsafat, teologi, politik, sastra atau obrolan-obrolan menyehari. Iqbal pun memiliki sifat yang dapat membuat setiap orang tak menjadi canggung ketika berhadapan dengannya. Salah satu kebiasaannya ia suka menyusupi setiap obrolan dengan humor.
Saya sempat berpikir, bahwa saya sendiri sering merasa canggung ketika berhadapan dengan intelektual tertentu (meskipun ada juga intelektual-intelektual yang membuat saya jadi tidak merasa canggung). Tapi untuk intelektuak tertentu, saya merasa justru suasana canggung itulah yang dibangun, entah untuk apa saya tidak tahu. Apakah untuk menjaga harga dirinya sebagai intelektual yang ingin dihormati, atau ada motif lain saya benar-benar tak tahu. Dan jujur, saya kurang menyukai intelektual tipe ini. Kadang saya membayangkan, apakah saya harus menghamba diri di hadapannya terlebih dahulu baru dia mau membuka diri? Atau perlukah saya bersikap layaknya budak di hadapan Tuan?
Seolah-olah beberapa pemikir dan intelektual yang membuat canggung itu, mencoba untuk menghapuskan sisi manusiawinya. Yang aku maksud adalah, humor, kejenakaan, tingkah-tingkah layaknya manusia biasa, sering disingkirkan, yang mana--sekali lagi--entah motifnya apa. Iqbal bukanlah sosok itu, ia jauh lebih jujur.
Tapi saya pikir, bukan itulah persoalan yang ingin dihadirkan dalam buku Sisi Manusiawi Iqbal. Saya rasa, buku itu ingin menghadirkan gambaran bahwa semelangit apapun seorang pemikir, secanggih apapun seorang filsuf, segagah apapun seorang pahlawan politik, mereka memiliki dimensi pribadinya yang awam, sama seperti kita, seperti saya; sebagai sosok manusia biasa yang memiliki kehidupan pribadi. Kita tak bisa hanya menilai seseorang pemikir dari karyanya saja.
Saya ambil contoh lain, ia adalah Karl Marx. Siapa yang menyangka, bahwa di balik karyanya yang jenius itu, di balik tebalnya Das Kapital yang bisa dibuat bantal untuk tidur itu, terdapat sosok ayah yang penyayang, dan sosok suami yang romantis. Teriakan revolusi yang tersebar di beberapa karyanya, hanyalah sisi lain dari sosoknya yang manis dan baik. Saya mendapatkan kenyataan ini dari buku Konsep Manusia Menurut Marx, yang ditulis oleh Erich Fromm.
Kita tahu bahwa dunia dan pengalaman pribadi yang dialami pemikir itu merupakan sumber inspirasi utama dalam pemikirannya. Namun, jangan dibayangkan, bahwa hanya pengalaman-pengalaman hebatlah yang membuahkan pikiran-pikiran mereka yang canggih. Karena, kadangkala, sumber inspirasi dari bangunan pemikiran yang luar biasa itu lahir dari pengalaman-pengalamam yang dianggap 'remeh'. Iqbal pun mengalami hal itu.
Tak hanya Iqbal, bayangkan saja, pengalaman remeh yang dialami Isaac Newton telah mengubah paradigma fisika. Apel yang jatuh di kepalanya merupakan biangkeladi gagasan Newton yang taktergoyahkan selama ratusan itu. Tentu apel jatuh bukanlah fenomena khusus yang hanya dialami Newton, barangkali banyak orang pernah mengalami kejatuhan apel di kepalanya, tapi di tangan Newton pengalaman remeh itu menjadi berbeda.
Sisi manusiawi tak pernah bisa hilang dari seorang pemikir. Betatapun buah pikirnya menyelubungi hal itu. Betapapun sisi manusiawi itu dicoba ditutupi dengan sikap-sikap khusus tertentu. Sisi itu akan selalu hadir, bahkan menyelimuti setiap pikiran-pikiran pemikir besar. Bahkan bisa disebut juga bahwa sisi-sisi itu merupakan manik-manik yang menghias bangunan pemikiran yang agung, yang dimiliki oleh setiap pemikir.

28 Desember 2018

Comments

Popular posts from this blog

Berserk, Shingeki No Kyojin dan Kerancuan Agama

Fragmen #3 Dialog dan Anti-dialog

Review Buku: Filsafat Wujud Mulla Sadra