Orang-orang Tolol
Begitulah, menurutku terlalu banyak orang tolol yang bertebaran di dunia ini, yang sama sekali tak bisa mengendalikan emosinya. Orang-orang yang tunduk pada gejala psikologis yang sebenarnya hanya remah tai. Aku kasihan sebenarnya melihat orang-orang itu, yang sama sekali tak bisa menjadi tuan atas dirinya. Budak-budak itu, haduh, bagaimana aku mengatakannya ya, terlalu dungu!
Mereka seolah bangga, bisa menunjukkan emosinya, begitu juga merasa digdaya. Padahal, mereka hanya menampakkan ketololan saja, kebodohan belaka. Ah tapi mana mereka ngerti petuah-petuah bijak. Sebenarnya aku bisa membunuh mereka satu persatu, tapi jika aku melakukan itu, maka aku tak berbeda dengan mereka. Sehingga satu-satunya jalan yang bisa kulakukan adalah, mengontrol diri, mirip dengan apa yang pernah dilakukan oleh golongan aristokrat Athena pada zaman dahulu. Cuma memang, apa yang kulakukan ini cukup sulit. Dan bagiku, tak mungkin dilakukan orang goblok. Orang goblok itu mirip keledai, mereka hanya tahu satu hal, yakni bahwa mereka sadar bahwa mereka "pintar", mereka merasa memiliki kedudukan terhormat di hadapanku, padahal nyatanya mereka dungu. Tingkah mereka ya hanya dituntun oleh irasionalitas, makanya aku bilang, mereka tak lebih mulia dari binatang ternak, atau mungkin justru lebih rendah dari itu. Barangkali, sebutan "lebih hina dari hewan yang paling hina" adalah sebutan cocok bagi mereka. Mereka tak tahu terimakasih, tak kenal kehormatan, meskipun selalu mendaku diri sebagai orang terhormat. Ah tapi begitulah orang dungu.
Berbeda denganku, aku lebih bisa menjaga diriku. Emosiku, harga diri, rasionalitas ku, aku jaga semuanya. Sehingga, tak ada yang berceceran tak karuan, sebagaimana hewan dungu itu. Aku berlaku sopan di hadapan mereka, berlaku baik juga, dan hal-hal lain yang bisa membuat tingkat pengendalian diriku semakin dapat diandalkan. Ketika hewan dungu itu berteriak-teriak, berkaing-kaing laiknya anjing kudisan, aku tetap bisa tegar dan tersenyum atas apa pun yang terjadi. Dan itu membuatku bangga. Ah, tapi kebanggaanku ini takkan mungkin dirasakan oleh mereka si hewan dungu. Aku kadang senyum-senyum sendiri jika membayangkan ketimpangan yang terjadi antara diriku dengan mereka. Aku kadang bertepuk tangan atas keberhasilan diriku karena telah menjaga diriku di hadapan hewan tengik itu. Aku selalu memberikan penghargaan atas diriku ini. Aku memang luar biasa, jika dalam usaha pengendalian diri. Tapi aku juga sadar, aku sering lepas kendali, tapi lepas kendaliku, tak segila hewan buas itu. Maksudku, orang lain yang tak bisa mengendalikan diri itu; Orang yang mengenal situasi dan kondisi itu. Aku kadang tertawa terbahak-bahak jika melihat kondisi mereka yang tolol itu. Misalnya begini, suatu kali ada orang lain yang tidak melakukan kesalahan, namun si bodoh itu, malah memaki orang itu. Padahal dia tidak melakukan kesalahan apapun, justru yang salah adalah si bodoh itu. Tapi dia melempar tanggung jawab kesalahannya. Entah karena apa, mungkin ia melempar tanggung jawab karena ia merasa, jika ia mengaku salah maka ia yang akan kena imbasnya, mungkin ia berpikir statusnya akan tercemar. Haduh tololnya, padahal dengan melakukan lempar tanggung jawab, ia malah terperosok ke dalam liang kehinaan yang paling dalam! Tapi aku tertawa melihatnya, karena kedunguannya membuatnya tidak sadar atas kelakukan tolol yang ia lakukan. Saking tak tahannya aku tertawa, aku membayangkan wajahnya berubah menjadi babi kotor yang selalu berguling-guling di lumpur bekas tainya. Mereka bagiku tetap pantas hidup, setidaknya mereka bisa menjadi hiburan. Meskipun seringkali mereka mengganggu, tapi aku tak ambil pusing, ya meskipun kadang aku pun merasa mereka sudah keterlaluan. Aku kadang bodo amat tapi bukan berarti tak peduli, aku hanya menganggap bahwa mereka pantas hidup agar bisa menjadi contoh. Bahwa jika ketiak monyet diberi ruh untuk hidup, maka begitulah nasibnya.
Comments
Post a Comment