Setelah itu...

Setelah itu...
Ternyata semuanya belum selesai, keresahan masih hinggap di pikiranku. Mungkin aku salah karena menulis tulisan ini padamu, namun aku pun merasa bahwa aku harus menulis sesuatu, meskipun aku tidak tahu mengapa 'harus'. Tapi, baiklah aku akan coba menceritakan sesuatu.
Sebenarnya setelah tulisan terakhir yang sempat aku kirimkan padamu, sampai saat ini aku merasa masih ada lubang atau mungkin celah yang masih bermukim di jeluk pikiranku. Seolah-olah ada semacam dorongan yang mengharuskanku untuk menyelesaikan sesuatu. Meskipun aku pun tak tahu, apa yang mesti aku selesaikan. Kesalahan yang pernah kulakukan menyisakan memori, ingatan dan jejak. Ketiga hal itu, hari ini, detik ini, selalu menggedor kepala meminta tanggung jawab, tapi hal-hal yang menghantui itu tak memberi petunjuk apa pun tentang hal yang mesti dilakukan. Mungkin aku terlampau dungu untuk menerjemahkan dan menerka pinta dari intuisi-pertanggungjawaban itu. Atau ia sengaja memberi simbol tanpa arti, ah aku pun kadang frustasi. Karena mereka tak berhenti menghantuiku.
Perempuan Fantasiku, mungkin kau tau apa yang harus aku lakukan sekarang. Atau mungkin juga tidak, aku tidak tahu. Aku merasa aku memang salah, karena sudah berlaku jahat padamu. Kau jelas tidak salah. Kau tak perlu meminta maaf. Karena memang tak ada kesalahan. Akulah yang mesti bertanggung jawab. Aku sempat berpikir, haruskah aku menghancurkan diriku sendiri agar semuanya selesai? Agar semuanya berakhir? Haruskah aku? Patutkah? Aku tak bisa memutuskan tindakan apa yang cocok.
Waktu dan masa lalu memang tak bisa diubah, kita kembali kepada kejadian yang telah lalu pun tak mungkin. Tapi ia hadir sebagai suatu hal yang mesti dihadapi dengan tanggung jawab, yakni dengan menyelesaikannya. Dengan apa? Aku tak tahu. Perempuan Fantasiku, aku mungkin sudah berlaku imoral padamu, dengan cara menyakiti hatimu (atau justru tidak sama sekali?). Tanggung jawab atas rasa itu pun tak bisa aku elakan. Ia justru menjerat leherku, dan jujur, sulit sekali dilepaskan.
Sempat suatu saat, aku pernah benar-benar ingin melepas segala tanggung jawab itu, tapi tetap tak bisa. Benar kata pepatah, setiap orang selalu dihantui oleh tanggung jawab, bahkan kabur dari tanggung jawab pun, hanya berarti menghadirkan tanggung jawab lainnya. Entah tuntutan tanggung jawab dalam bentuk lain atau masih dalam bentuk yang sama. Tapi, aku tak berniat melakukan itu, aku tak ingin kabur. Kalaupun kau sempat berpikir tentang aku yang kabur, aku pikir asumsi itu tidak tepat. Aku bukan kabur, kalaupun aku pernah hilang tanpa memberi jejak apapun setelah kejadian yang pernah terjadi. Aku hanya menunggu waktu yang tepat. Aku tak bisa meninggalkan hal-hal yang belum selesai. Meskipun aku berusaha dan memaksa untuk lepas, namun semua itu sia-sia. Moralku menarikku kembali ke tempat semula, yakni kepada pengalaman-pengalaman yang pernah terjadi, kepada waktu yang telah lalu, kepada memori yang lampau. Mereka mengakar kuat, bagaikan rantai yang menjerat kaki sedemikian kukuh.
Ingatan itu merajamku setiap hari. Cambukan dan pecut kegetiran selalu menerpa tubuh kotorku. Lecutan tak pernah berhenti, tak ada jeda, tak ada rehat sedetik pun. Sekalipun aku tak merasa sakit barang sedetik pun, bukan berarti hantaman dan siksaan itu berhenti. Aku hanya, barangkali, aku sudah mulai terbiasa dengan terpaan itu. Tapi aku tak mau berada dalam kondisi itu, aku pikir kondisi itu hanyalah gambaran dari orang yang hatinya sudah gelap gulita. Sehingga rasa bersalah, tak lagi terasa. Aku tak mau berada dalam posisi itu. Aku masih memiliki moral, atau mungkin sejumput nurani.
Aku memang melakukan kesalahan, dan kau mungkin bisa menghitungnya sebagai kecacatan moral. Ternyata aku belum bisa menjadi dewa yang kebal dari kesalahan, tapi ini bukan dalih. Aku tak berharao kau mewajarkan kesalahanku. Silahkan salahkan aku, hinakan aku, karena memang itulah yang harus aku terima, dan itulah faktanya.
Namun kembali kepada keresahanku di awal: apa yang harus diselesaikan?
Jika kau berkenan, aku harap kau bisa membalasnya. Namun aku tak memaksa. Jika kau tak mau kau tak perlu menggoreskan apapun.

30 Januari 2019

Comments

Popular posts from this blog

Berserk, Shingeki No Kyojin dan Kerancuan Agama

Fragmen #3 Dialog dan Anti-dialog

Review Buku: Filsafat Wujud Mulla Sadra