Surat Pengakuan Dosa
Untuk: Perempuan Fantasiku
“Kesunyian adalah teman yang paling setia”
Uchaep Armstrong
Sebenarnya sudah cukup lama aku ingin menulis ini, hanya saja, aku belum menemukan waktu yang tepat. Kamu benar, jika kamu mengira bahwa patokan ketepatan momen itu berasal dari subjektifitasku. Tapi aku benar-benar ingin menulis ini dari dulu, khusus untukmu. Tapi, sebenarnya aku pun terlampau bingung, mengenai apa yang mesti aku tulis, karena sangat banyak yang ingin aku ungkapkan. Tapi bukan berarti juga, kebingungan itu lantas membuatku tak menulis apapun untukmu, karena aku benar-benar berkewajiban untuk mengirim surat ini untukmu.
Aku benar-benar merasa bersalah atas semua yang pernah terjadi. Rasa bersalah ini benar-benar menghantuiku. Aku sadar, aku salah memahamimu. Aku selama ini mengira bahwa aku telah terlotak. Mungkin, ini hanya ketakutan-ketakutanku saja, atau barangkali cuma ilusi belaka. Atau barangkali ini hanya bentuk kecerobohanku dalam membaca situasi? Dari semua anggapan-anggapan itu, ada satu hal yang pasti, yakni aku bersalah.
Mulanya, aku sempat ragu terhadap diriku sendiri, mengenai kepantasanku untuk bisa bersanding denganmu. Perlu waktu yang cukup lama untukku untuk memikirkan kepantasan itu. Akhirnya, aku memutuskan untuk mencoba terlebih dahulu. Dan ternyata, aku mendapatkan respon yang baik darimu. Aku begitu senang mengetahui respon-respon itu. Meskipun aku juga cukup khawatir.
Kekhawatiranku bermuara pada pengalaman dan cerita-cerita yang aku dapatkan dari kawan-kawan dekatku. Misalnya, tentang keharusanku agar bisa menjaga perasaan, agar aku tidak sembrono ketika menjalin kontak denganmu, karena jujur saja, dalam beberapa momen tertentu, aku selalu terhanyut dalam rasa sukaku. Aku khawatir jika hanya aku yang mengalami rasa itu sedangkan kamu tidak. Aku pernah mengalami hal ini, tapi untungnya aku tak terlalu kebablasan, tapi relasiku dengan perempuan ‘itu’ gagal. Faktanya, aku tak bisa menahan diri, sehingga membuat orang itu ketakutan. Tapi sudahlah, itu pengalaman yang sudah lewat, lagi pula aku pun bertanggung jawab atas tindakan itu. Bentuk tanggung jawabku adalah, tak lagi menghubungi perempuan ‘itu’, agar ia bisa tenang. Dan ternyata dugaanku benar, perempuan itu bisa tenang.
Akhirnya, aku memutuskan untuk benar-benar berusaha menahan segala gejolak perasaan yang meledak-ledak setiap detik, apalagi ketika kamu membalas segala pesanku. Aku benar-benar takut, jika perasaanku muncul atau timbul, kamu akan terganggu dengan hal itu. Aku benar-benar tak mau jika ada orang yang terganggu. Aku takut jika pada akhirnya, aku mesti terusir gara-gara tingkah dan sikapku yang tak tertahan. Tapi bukan berarti aku tak memiliki perasaan, justru aku memiliki perasaan yang sangat besar. Hanya saja benar-benar aku tahan.
Mungkin, letak kesalahanku di sini. Pada satu sisi, aku sangat teledor, karena menyamakan pengalaman yang aku alami sebelumnya. Fatalnya aku malah membawanya pada pertemuanku denganmu. Hingga aku selalu menaruh pandangan yang pesimis ketika berhadapan denganmu. Waktu itu aku merasa bahwa aku tak pantas, aku tak sesuai, aku tak cocok denganmu. Rasa ketakpantasan ini muncul karena aku merasa bahwa aku hanyalah pria yang buruk. Aku memang, dan jelas, bukanlah pria yang baik.
Barangkali aku kurang teliti. Aku kurang mampu menanggalkan segala prasangka yang menjadi parasit di pikiranku. Aku tak mampu menaruh khawatir dan ketakutanku ketika berhadapan denganmu. Seharusnya aku melakukan itu. Tapi apa daya, rasa sesal selalu datang diakhir. Ia tak mungkin mampir lebih dahulu. Dari sanalah aku jadi tambah sadar, ternyata aku masih menjadi pria ceroboh yang selama ini aku benci. Aku benci pada sifatku ini, aku jengkel dan marah pada diriku sendiri. Aku merasa bodoh, tolol dan tak berguna, ketika sadar ternyata selama ini tak ada yang berubah dari diriku. Selama aku mengalami kegagalan dalam berhubungan dengan orang lain, ternyata aku masihlah sampah yang sama. Masih seonggok bangkai yang dikerumuni lalat hijau tak berguna.
Kadang, ketika aku memikirkan kesalahanku ini padamu, aku tak kuasa menahan gejolak kesedihan yang aku rasakan. Aku pun frustasi dan bingung, tentang apa yang mesti aku lakukan. Apakah aku harus membunuh diriku sendiri, sehingga drama yang aku alami ini berakhir? Apakah aku harus menggoreskan pisau dileherku agar tirai teater kegetiran ini bisa usai? Ketika aku benar-benar tenggelam dalam lautan duka dan kehinaan yang dalam, aku selalu memikirkan moral yang benar-benar kurusak karena kedunguanku. Aku memang dungu. Aku hanyalah anak kecil yang terlunta tak berdaya, di hadapan situasi yang menuntutku harus peka. Tapi apa daya, si bodoh ini (aku ini) tak mampu sadar akan hal itu. Hingga akhirnya aku harus menggoreskan luka pada orang lain: kamu.
Tapi benarkah kau terluka di sana? Selama ini aku tak tahu. Aku takut jika tebakanku salah. Aku khawatir sungguh. Tapi yang pasti, aku merasa bersalah, terlepas dari apakah goresan itu benar-benar mengenaimu atau tidak; karena aku tidak bisa memastikannya.
Hari-hari pun berlalu, dan kesedihan serta rasa bersalahku masih mengiringi alunan kehidupanku. Jam pasir sedikit-demi sedikit berjatuhan, waktu bergerak terus menerus, dan aku masih di sini menanti pengampunan yang aku harap terlafal dari mulutmu. Tapi, jika kamu tidak sudi untuk melakukannya, tak apa. Mungkin, memang sudah takdirnya aku mati dalam keadaan nista di matamu. Dan tentu saja, aku harus menerima hal itu tanpa syarat. Itu adalah konsekuensi atas apa yang telah aku kayuh.
Namun, jika pengampunan yang aku dapat. Sungguh aku akan menjadi manusia yang paling bahagia. Tapi apakah kondisi itu akan tiba? Siapa yang tahu, aku tidak tahu, malaikat tidak tahu, para setan tidak tahu, hanya kamu yang tahu, karena kamulah yang menghadirkan lafadz ampun itu.
Perempuan Fantasiku, bila kamu berkenan membaca ceritaku ini, yakni mengenai kesalahan tafsirku, maka aku akan menjelaskannya panjang lebar. Jadi bisa dibilang ini kesalah fatalku yang kedua (setelah apa yang aku ceritakan di awal). Mungkin penjelasannya tak begitu rinci, karena memang kita takkan pernah menjelaskan segala sesuatu dengan rinci tanpa mengurangi kadar kedalaman makna dari kata-kata yang kita pergunakan. Tapi, kondisi itu tak menghalangiku untuk menceritakan segalanya. Jujur, aku cukup menyesal atas kesalahanku pada momen-momen yang akan aku ceritakan ini, bila aku mencoba mengingatnya, hanya ada kegetiran yang tersisa dalam haribaan perasaan yang berkecamuk ini.
Kala itu, aku mendapatkan hawar dari salah satu kawanku, bahwa kau termasuk tipe orang yang tidak ingin main-main ketika berhubungan dengan orang lain. Saat itu, aku berpikir bahwa kau bukan orang yang ingin diajak untuk berpacaran. Mungkinkah aku salah tafsir? Tapi begitulah bentuk makna yang keluar ketika aku menafsir perkataan kawanku itu. Aku pun langsung menegaskan, bahwa aku tak bisa menjalin hubungan pacaran, aku berpikir bahwa aku dan kamu hanya bisa menjalin komitmen satu sama lain. Aku pikir, kamu bukanlah tipe orang yang menganggap bahwa pacaran pun bisa serius, sedangkan itulah yang aku jalani selama ini jika berhubungan dengan seseorang. Sampai akhirnya aku sadar, aku telah salah kaprah dalam menafsir pernyataan itu.
Konsepsi ini terus mengiringi benakku, bahkan sampai kita tak saling menjalin komunikasi lagi. Di situ aku ketakutan setengah mati, aku khawatir jika aku menuntut lebih, sehingga aku pikir aku takkan kuat. Saling menjalin komitmen sungguh merupakan bayangan saja bagiku, karena aku belum pernah melakukannya sebelumnya. Tentu saja, aku memiliki alasan mengapa aku berpikir demikian. Sebagaimana kamu tahu (atau mungkin tidak), hubungan yang pernah aku jalani selama lima tahun kandas gara-gara kehadiran orang ketiga, dan aku tak ingin mengalami hal yang serupa. Aku mengira, bahwa menjalin komitmen satu sama lain itu sangat rentan, karena tak ada ikatan. Kalaupun komitmen itu aku anggap sebagai ikatan, bagiku ikatannya tak begitu mengikat. Namun, terlepas dari itu, akhirnya aku berniat mencoba memberanikan diri untuk membangun relasi yang bagiku baru itu: menjalin komitmen dengan orang lain.
Seiring berjalannya waktu, aku pun sering mengirim pesan singkat padamu via media sosial, dan aku bahagia, karena kau menanggapi pesan-pesan itu. Meskipun rasa khawatir tetap senantiasa menghantuiku terus menerus tanpa jeda. Sampai akhirnya ada beberapa hal yang membuatku kecewa pada diriku sendiri. Aku merasa bahwa aku terlalu cepat untuk ‘bisa dekat’ denganmu, sehingga aku pikir aku telah melakukan kesalahan berat.
Waktu itu aku mengajakmu ke kafe. Mungkin kamu masih mengingat kejadian ini. Namun, kamu waktu itu menolak, dengan alasan karena keluargamu akan mampir ke kediamanmu. Seharusnya aku bisa berpikir positif, bahwa itu bukan hanya akal-akalanmu untuk menolak undanganku. Tapi aku malah berpikir sebaliknya. Aku malah berpikir bahwa itu hanya alasanmu untuk menolakku. Aku pun merasa rendah, karena aku pikir aku salah langkah. Aku merasa bahwa aku terlalu cepat untuk mengajakmu berkencan. Ah, jika aku mengingat itu aku benar-benar menyesal karena telah berpikir begitu.
Aku bisa berpikir begitu karena konsepsi yang aku bawa-bawa ‘tadi’, yakni kamu tidak ingin menjalin hubungan yang main-main, yang pada waktu itu—sekali lagi—aku tafsir sebagai tak mau pacaran dengan lelaki manapun. Setelah kejadian itu, sempat terpikir olehku, untuk tidak lagi mengirim pesan apapun padamu, karena aku pikir aku hanyalah parasit, ngengat atau nyamuk yang mengganggu saja, tapi niatku belum urung di sana.
Setelah itu, aku hendak mengajakmu untuk membeli es krim. Aku sadar sekarang, waktu itu kamu menganggap bahwa ajakanku itu hanyalah candaan, tapi itu tidak salah, itu wajar, aku yang salah karena tidak tahu situasi dan waktu. Waktu itu aku memang sedang banyak bergurau denganmu di pesan singkat itu, dan ajakanku yang tiba-tiba pasti akan ditanggap sebagai candaan belaka, sekali lagi itu wajar. Hanya saja, saat itu aku terlalu baper, sehingga aku menganggap bahwa itu hanya bentuk penolakanmu saja. Waktu itu kamu memang tidak menolak secara eksplisit, tapi aku malah menafsir dengan tafsiran pesimis.
Sampai akhirnya, ada ungkapan yang kalau tidak salah berbunyi: “kalau aku baperan, mungkin aku udah baper”. Di sana titik final pesimismeku. Aku tak menyalahkanmu. Perempuan atau laki-laki manapun memang mesti, pasti dan harus menjaga dirinya. Apalagi dengan kondisiku yang baru mengenalmu hanya beberapa bulan. Orang mana yang tak akan curiga padaku? Semua orang barangkali akan curiga. Dan mungkin kamu termasuk di dalam jajaran itu. Rasa kecewa pada diri sendiri pun semakin meningkat, aku merasa bahwa aku telah gagal menjalin hubungan yang baik dengan orang lain.
“Aku seharusnya tidak melakukan itu”, kalimat itu selalu muncul dalam benakku pada saat itu, sampai-sampai aku pun menjadi jarang untuk berinteraksi denganmu. Aku merasa, bahwa aku hanyalah pecundang tak tahu malu, yang ingin buru-buru menjalin relasi dengan seorang perempuan baik. Aku memang pria buruk, dan bukan pria yang baik. Bahkan semenjak dari situ, aku pernah tak mengirimu satu pesan pun.
Tapi aku benar-benar tak menyangka, sampai suatu ketika, di malam itu, ketika aku sedang mengisi materi di sekretariat PMII, kamu mengirimiku pesan singkat. Aku kaget, mengapa kamu bisa mengawalinya? Seharusnya aku yang mengawali. Jujur, aku bahagia waktu itu, meskipun aku benar-benar menahan diri, karena aku khawatir terlalu kepedean. Aku pun terpaksa mengurungkan segala denyut perasaan bahagia yang muncul itu, aku pun harus sebisa mungkin meluruhkan segala kesenangan itu.
Dari sana aku pun mencoba menghela nafas, untuk memikirkan apa yang sebenarnya terjadi. Aku benar-benar lelah dengan diriku sendiri, karena telah melakukan segala perbuatan itu. Aku pun pergi sendirian ke suatu tempat, untuk merenungkan segala kesalahanku itu. Aku berpikir, bahwa kamu mungkin hanya ingin meredakan situasi, sehingga kamu mengawali perbincangan itu. Yang terlintas dipikiranku hanya itu. Pesimismeku pun makin menari-menari di kepalaku. Aku merasa semua orang yang melihatku pada saat itu, sedang menertawakan apa yang aku lakukan. Aku merasa bahwa aku ini hanyalah pecundang, yang dipecundangi oleh diri sendiri.
Pikiran pesimis itu semakin hari semakin tajam. Sampai akhirnya aku berpikir bahwa kau mungkin takkan tahan dengan kondisiku. Aku takut jika aku harus ditolak lagi oleh seseorang yang aku anggap penting. Aku trauma, jika kejadian itu harus terulang lagi. Aku benar-benar paranoid. Aku pun putus asa, karena aku pikir, sepertinya tak ada lagi yang bisa cocok dengan diriku.
Aku ingatkan sekali lagi—dan yang sekarang aku sadari mengenai mengapa aku mesti selalu berpikir pesimis begitu—jawabannya jelas, karena aku terus diikuti oleh konsepsi pesimis dan kesalahan tafsir itu. Tapi memang aku yang salah, aku ternyata salah memahami. Aku yang terlalu paranoid pada diriku sendiri. Aku sadar, bahwa aku selama ini dihantui oleh traumaku sendiri, sehingga salah menangkap maksud kawanku itu.
Padahal aku seharusnya bisa bertindak polos, dengan melihat kenyataan secara baru. Memerhatikan suasana dengan berbeda; yang semestinya aku tak membawa segala pra-anggapan yang justru mengganggu diriku sendiri, yang justru merobohkan segala optimisme, yang justru memupuk segala kesalahan tafsir. Ah, aku tak tahu lagi apa yang harus aku lakukan. Aku benar-benar salah dalam bertindak dan berpikir. Aku sudah tak adil sejak dalam pikiran. Apakah penyesalan bisa mengubah situasi? Apakah segala keluh ini bisa menggeser sedikit keadaan? Jelas tidak mungkin. Waktu telah bergulir, dan aku sebagai manusia tak bisa melakukan apa-apa selain meratapi nasib yang ada.
Aku harap kamu bisa membalas surat ini, tapi aku tidak memaksa. Jika kamu hendak mengutarakan sesuatu, maka katakanlah. Katakanlah sebebas-bebasnya. Jangan pernah peduli pada posisiku. Kau bebas ingin berkata apa pun. Kau boleh memakiku. Kau boleh menghinaku. Kau boleh menghujatku. Dan aku pastikan, bahwa jawabanmu akan aku simpan baik-baik, dan takkan pernah aku bocorkan kepada siapapun.
Tapi jika kau merasa tak perlu membalas apa-apa dari suratku ini tak apa-apa, meskipun aku benar-benar berharap penuh kau membalasnya. Mungkin kamu sudah terlampau membenciku, sehingga kamu sudah tak lagi memiliki alasan untuk menjawab suratku ini. Atau kamu sudah terlanjur membenciku, sehingga tak ada lagi kata yang mesti kau rapalkan kepadaku. Aku pastikan, dan aku jamin, aku akan menerima juga konsekuensi itu.
Raja Cahaya (Si Orang Sial dan Tolol)
Comments
Post a Comment