Egois
Manusia modern memang egois. Selalu ingin berkata-kata, selalu ingin didengar, selalu ingin dipahami. Kalau pun mereka mencoba mendengar, pendengarannya hanya disiapkan untuk membalas, bukan untuk memahami. Kalau pun mereka bilang, "ya aku mendengarkan", mereka sebenarnya hanya ingin tampak sedang mendengar, atau justru terpaksa karena khawatir ia tak didengar lawan bicaranya lagi.
Tepat pada titik itulah, mereka kesepain, selalu merasa dunia ini sunyi dan hampa.
Telinga-telinga itu leleh, terseret ombak narsistik. Sebuah narsisisme yang ingin agar dunia dan orang lain tunduk menjadi budak di bawah mulut yang tak tahan menahan ledakan emosional, yang mencari sebuah tong.
Tong yang kosong, atau dipaksa kosong.
Dalihnya hanya satu, "jika aku tak dipahami, maka aku akan hancur. Kendaliku pergi entah kemana".
Dengan permintaan inilah, mereka mencari rasa iba. Namun, rasa kasihan, perhatian dan empati yang diberi oleh orang lain, sebagai respon atas kenelangsaan tadi, akan dibuang setelah "rasa cukup" mulai terasa, selepas perut egoistik mereka buncit.
Maka curigalah pada setiap pendengaran, pada setiap telinga yang dianggap siap sedia memberi ruang. Karena jangan-jangan, telinga-telinga itu hanyalah souvenir dari pasar.
Tapi, tentu saja, kita tak bisa menutup mata, bahwa selalu ada celah (meskipun langka) di mana ada seseorang yang mau mendengar.
Comments
Post a Comment