Posts

Showing posts from November, 2017

Fragmen #36 Mata yang tunggal

Matamu hanya satu, Apakah itu ketunggalan? Matamu tersisa satu, Apakah itu kemandirian? Kau melihat dengan sebelah mata, Tetapi pengelihatan mu tak timpang, Pengelihatanmu begitu luas, Menundukan horizon yang tak berbatas Mata tunggalmu menyinari dunia, Sehingga semesta sujud pada cahayamu, Sehingga para malaikat mencabuti bulu sayapnya, Sehingga para iblis mematahkan tanduknya, Matamu membuat api menjadi selembut air, Membuat angin menjadi seberat baja, Membuat es menjadi sepanas bara api, Membuat batu menjadi bisa ditembus, Mata universalmu terus menyinari alam raya, Memperkosa malam, Memburu kegelapan, Menyingkap keburaman, 28 November 2017

Fragmen #35 Egois

Orang egois adalah orang yang senantiasa tak merasa aman di dalam hidupnya... Bagiku pengertian tersebut sangat menarik. Mengapa? Karena definisi itu benar-benar menggambarkan diriku. Dan aku tahu sekarang arti sebenarnya dari egois, dan aku setuju dengan definisi itu. Mungkin, aku akan menambahkan pengertiannya: ia tak merasa aman dengan hidupnya, lalu menanggap bahwa realitas itu sama persis dengan pikirannya. Maka dari itu, kemungkinan untuk mengeksploitasi orang lain sangat besar. Ya, pada satu keadaan orang egois dapat bersifat ramah. Tapi keramahannya ditunjukkan, karena sesuai dengan apa yang dipikirkannya; dan sama sekali tidak melibatkan orang lain di dalam keputusannya. Bisa jadi, dia mengklaim bahwa keputusannya melibatkan orang lain, akan tetapi itu juga hanya sejauh sesuai dengan pikirannya. Orang egois tak tahan dengan 'sesuatu' yang tidak cocok dengan pikirannya. Makanya, ia membenci ketidak jelasan. Pada satu sisi, hal tersebut memang baik, namun dalam berhubung...

Fragmen #34 Mengejar Layla Bagian V

Aku memandang bayangmu hari ini. Di tengah hujan deras, di bawah awan hitam yang menggulung diangkasa. Kau masih nampak manis seperti dulu. Kau masih perempuan yang aku kenal. Perempuan yang kuat, perempuan yang tak pernah menyerah pada waktu. Kini aku duduk termenung di bawah hujan, tak peduli tubuhku yang basah kuyub. Aku tahu, begitu bodohnya aku karena telah meninggalkanmu waktu itu. Membiarkanmu terluka. Membuatmu sedih. Meninggalkanmu dalam kesepian. Aku tahu, bahwa aku begitu tolol, dengan tega merelakanmu pada awan gelap itu. Menyerahkanmu pada kecamuk kemalangan. Kini aku menginginkanmu sayangku. Aku rela menunggumu. Di sini. Di atas bara api yang membakar kulit-kulit ku. Aku rela menyerahkan jantungku untuk dimakan belatung-belatung itu. Biarkanlah darah ini mengucur sayangku, karena ini belum seberapa. Luka ini. Penderitaan ini takkan pernah sepadan dengan apa yang kau alami dulu. Apakah aku telah menghapus cantikmu manis? Aku harap wajah yang cantik tu tetap setia bert...

Fragmen #33 Tentang Kekecewaan

Akhir-akhir ini aku begitu membenci manusia. Setiap kali aku gantungkan harapanku pada seseorang, malah kekecewaan yang aku dapati. Entahlah, apakah memang begitu aturan mainnya. Maksudku, apakah kecewa merupakan fakta dari relasi kita dengan manusia lainnya? Aku tak pernah tahu. Sampai sekarang aku belum berani menjawabnya. Karena aku begitu takut. Aku takut jika memang itulah fakta sebenernya. Aku mencoba berpikir seoptimis mungkin, mungkin ada orang yang bisa aku andalkan untuk digantungi harapan. Tapi sampai sekarang aku belum menemukan orang itu. Yang aku temukan hanyalah orang-orang yang hanya peduli pada diri mereka sendiri. Orang-orang yang pura-pura peduli terhadap harapanku, padahal mereka hanya mengambil keuntungan darinya, sampai saat ketika keuntungan tak ada lagi di dalam diriku, mereka akan pergi dan menghilang tanpa jejak, lalu menyisakan ampas yang tak berharga: kekecewaan. Aku juga bingung mesti berbuat apa sekarang. Karena tak ada lagi tumpuan lain selain manusia-m...

Fragmen #32 Candu Keriangan

Apa yang lebih puitik dibanding, aku mencabik dagingmu, mengucurkan darahmu, lalu tertawa di atas bangkaimu? Apa yang lebih indah dibanding, aku mencabut kukumu satu persatu, lalu menangis bersamamu diiringi rintihan kesakitanmu? Apa yang lebih merdu dibanding, jeritan kesakitanmu ketika kulitmu aku kerlupas inci demi inci? Keriangan itu hilang, ketika kau kembali utuh. Sempurna tanpa goresan secuilpun. Kebahagiaan itu hilang, ketika kau tiba-tiba tersenyum lalu meninggalkan aku begitu saja. Terlunta, sendirian, digerogoti sepi. Apakah kau tak mau menemaniku lagi, dengan jerit dan tangis itu, agar aku tak merasa kesepian? 19 November 2017

Fragmen #31 Ritual Menunggu Hujan

Hari itu hujan, Kau tiba-tiba hadir di sampingku, Menyandarkan kepalamu di bahuku, Setelah itu kau mencabut nyawaku, Lalu kau bawa pergi nyawa itu, Jauh, Sangat jauh, Aku di sini masih menunggu hujan tanpa jiwa, Setelah itu kau kembali menagih tubuhku, Kau pun membawa pergi tubuhku, Jauh, Sangat jauh, Aku di sini, masih menunggu hujan, tanpa tubuh dan jiwa, Lalu kau kembali menagih "aku", "Aku" pun kau bawa pergi, Jauh, Sangat jauh, Hujan masih lebat, menunggu aku kembali, Menunggu kau menyadarkan kepalamu dibahuku lagi 17 November 2017

Fragmen #30 Bidadariku

Bidadari itu turun dengan kasar, Jarinya menjepit sebatang rokok, Rambutnya jatuh je bahu, Sayapnya nampak halus terawat, Ia berjalan dengan arogan di hadapan Tuhan, Lalu menunjuk dengan telunjuknya, Mengepulkan asap tepat di wajah-Nya, Syahdan ia bersujud, Bidadari itu terbang dengan anggun, Melayang, Melintasi horizon ruang, Ia singgah di bibir neraka, Menyapa Raja setan, Mengecup jidatnya, Lalu memutilasi organ tubuhnya sendiri, Tapi ia bahagia, Bidadari itu kembali ke surga, Tanpa lengan, Tanpa kepala, Hanya hasrat yang ia bawa serta, Rokoknya masih dijepit jari-jarinya, Asap rokoknya masih mengepul, Ia masih bidadari yang cantik, Namun ia kesepian 14 November 2017

Fragmen #29 Mengejar Layla Bagian IV

Layla, aku mendengar keriuhan itu. Sepertinya kau sedang merayakan sesuatu. Aku turut bahagia Layla, meskipun aku hanya bisa merasakan hawa bahagianya saja, bukan bahagia itu sendiri. Layla, aku masih sendirian di sini, bertengger di atas pohon nasib, menunggu daun-daun dan rantingnya patah, berdoa agar batangnya rubuh, menimpa segala kesialan yang aku alami. Layla, aku di sini sedang melihat kembang api, yang bertebaran di angkasa sana, di atas langit-langit yang memayungimu hari ini. Biru, merah, hijau, dan warna-warna lain sedang menghiburmu di atas sana. Mereka rela di lempar ke atas, lalu meledak. Daging-daging itu berhamburan di sana, darah-darah itu melayang-layang. Semua orang terdengar, berteriak, bersahutan satu sama lain, menepuk tangannya dengan cepat, menjeritkan euphoria bahagia. Aku di sini hanya bisa melihat pemandangan itu, dari jauh, dari hutan lembab yang dingin ini. Gelap. Hanya ditemani kunang-kunang yang hanya memiliki cahaya temaram. Nyanyian sendu dari burung...

Fragmen #28 Kau adalah Sang Ada

Hipokondria akut mengigiti jantungku, Detakan jantung hampir berhenti, Ngeri atas kemewajahanmu, Akhirnya hujan, Kau tak mungkin disingkap, Kau mencungkil setiap mata yang hendak merengkuhmu, Kau memancung setiap kepala yang ingin memikirkanku, Hujan pun reda, Kelima indraku hampir mati, Tapi disisakan telinga, Akhirnya kau tampak, Tanpa daging dan darah, Hanya gaungan, Hanya siulan, Hanya suara detak jantung, Akhirnya semuanya bernyanyi, Akhirnya kau tersenyum, Ketika organku kau potong-potong, Kau nampak riang, Ketika aku dipasung oleh kehendakmu, Semua orang bahagia, Aku pun bahagia, Bersama tubuh yang cacad, Bersama jiwa yang rumpang 8 November 2017

Fragmen #27 Aku Melihatmu

Aku melihat wahyu hari ini Melintas dalam tujuh detik Melewati relung mataku Menembus tenunan batin Wahyu itu mewujud menjadi dewi kesuburan Tiba-tiba padi bermunculan di atas aspal Embun-embun pun hinggap di atasnya Harum kekenyangan tiba menyeruak Sang Wahyu hanya mampir sekejap Lalu hilang Ia sibuk bermain dengan dirinya Memikirkan dirinya sendiri Mataku melompat, Aku dipaksa buta, Bibirku kabur, Aku dipaksa bisu Aku hanya diberi kesempatan mendengarmu Wahyu pun mewujud menjadi engkau, Sang dewi Padi, Sang tunggal, Sang tak terbagi, Tak ada yang mampu menirumu 6 November 2017